Seperti ilmu padi, semakin berisi semakin merunduk. Ungkapan ini lah yang seharusnya dijadikan sebagai pedoman hidup manusia intelektual yang masih menyematkan arti sosial di setiap liku kehidupan mereka Mereka tidak hanya akan mengagungkan jutaan ilmu yang melingkari otak mereka, tetapi mereka juga mempunyai empati terhadap jiwa-jiwa lain yang kekurangan kesempatan untuk mencium tanda-tanda peradaban yang dilakukan akal mereka. Sehingga, aku kerucutkan tulisanku untuk membahas bagaimana idealnya manusia berakal dalam menyikapi hujanan akal pengetahuan yang berkemungkinan membuat mereka terlena akan kemapan mereka, buta terhadap bentuk-bentuk lain yang menyeramkan, tuli terhadap jeritan-jeritan yang mengusik, dan diam diantara segelintir hati-hati yang mencoba bertahan.
Sekarang, saya hanya mampu menangisi segerombolan kejadian yang telah saya lewati. Kejadian yang akhirnya menggerakkan aku untuk meninggalkan singgasana terindahku selama sepenggal periode kemasyuranku. Saat itu, dunia beserta isinya seakan milikku, hingga detail-detail bumi pun tak luput dari pencermatanku. Ku coba ketahui segala pengetahuan yang ada dan akhirnya aku sukses untuk memperolehnya. Aku merasa bangga akan apa yang aku lakukan karena hal tersebut sangat mustahil diperoleh tanpa adanya usaha yang keras. Ku bayar proses itu dengan keberhasilan yang sempurna, hingga kulengkapi semua itu dengan keangkuhan. Sikap yang aku dapati dari diriku, dampak dari kemapanan pencapaianku. Ku lihat segalanya nampak begitu kecil, hingga aku merasa terheran-heran menyikapi hal-hal yang berukuran mikroskopik tersebut. Ku dengar suara itu begitu jauh, hingga aku merasa tidak butuh repot-repotuntuk mendengarkannya. Ku menari-nari di tengah kerajaanku yang sedang bertengger indah di sekeliling ilalang-ilalang yang lebat.
Setelah aku cukup bosan dengan rutinitas itu, akhirnya muncul kekuatan yang mendorongku untuk bertanya pada jiwa yang kolot ini, apa yang sebenarnya aku cari dari hidupku? Apa yang menjadi tujuan pencarian pengetahuanku? Apa manfaat pengetahuanku terhadapku dan MEREKA? MEREKA, ya meraka, pandanganku masih terlampau kabur untuk menjelaskan definisi mereka. Haruskah aku memberikan kesempatan mereka untuk sekedar melihat megahnya kerajaanku yang tidak mungkin habis walaupun mereka menggrogotinya dengan ganasnya? Mereka yang selama ini kurang aku mengerti keberaadaannya karena selama ini hidupku berprinsip untuk selalu menganggap mereka remeh dan tak berguna. Mereka tak berguna, karena tidak ada yang memfungsikan. Mereka lemah, karena dikompetisikan di jalur yang bukan bidangnya. Mereka tak berakal, karena meraka bersanding dengan akal-akal yang dikembangkan.
Kejayaan itu ada siklusnya. Tidak lah mungkin suatu kerajaan berkuasa selama sepanjang kehidupan. Kita hanya perlu menunggu sampai kita memperoleh puncak kejayaan dan setelah itu mengamati penurunan dari titik klimaks kita. Kita akan mendapati diri kita dianggap bodoh oleh sekawanan orang-orang yang ketika ketika sedang berjaya, mereka belum bisa melihat apapun. Bagi mereka, aku adalah orang lapuk yang bodoh yang segala yang aku yakini tidak lagi dipercaya siapa. Sama persis ketika dulu aku pernah melihat jiwa-jiwa yang teorinya selalu aku anggap terlalu konvensional. Semua adalah tentang putaran, dan waktu yang akan menjawab semuanya. Maka kita hanya perlu bersiap untuk menunggu giliran kita.
Maka dari itu, betapa kasihannya manusia jika mereka hanya mengagungkan pengetahuannya tanpa menyadari bahwa kejayaan mereka lambat laun akan terenggut. Ilmu itu bukan tanpa tujuan. Ilmu itu buah, yang tidak hanya dinikmati oleh penanamnya saja, tetapi hampir semua orang yang membutuhkannya. Kita tidak diharapkan bercongkak diri atas pengetahuan itu. Yang perlu kita lakukan hanya berpikir bagaimana caranya ilmu itu akan dirasakan dampaknya oleh sebanyak mungkin otak-otak yang kelaparan. Sebarkan ilmu sebanyak kau hirup udara yang dianugrahkan terhadapmu.
1 comments:
Hal yang diperlukan untuk hidup dan apa yang bisa memberikan semuanya dapat dikonfirmasi dan mengakui fakta. friv juegos
Posting Komentar